22.5.11

Susi Oh Susi

Sebelum kejadian ini Susi yang saya tahu hanya Susi Susanti si pebulutangkis indie legendaris dari pusat pelatihan Cipayung. Susi Susanti si penggondol emas Olimpiade Barcelona yang katanya suka makan-makanan bergizi tapi tak suka mendengarkan Sir Dandy. Namun setelah kejadian ini setiap mendengar kata Susi maka yang terlintas di kepala saya adalah Susi Sukowati, seorang gadis desa yang suka Ungu tapi lebih suka si Enda ketimbang Pasha.

Cerita ini bermula ketika saya lulus SMA. Baju penuh coretan pilok warna-warni oleh teman-teman saya yang kontemporer nan elegan. Huruf L, U, L, U dan S bertebaran di baju seragam SMA saya. Celana saya selain diisi oleh punya saya, juga diisi oleh coretan-coretan serupa. Ketika siang menjelang, saat Ibu Komarudin membentak-bentak kami karena tingkah laku kami merayakan kelulusan yang berlebihan maka kami pun meemutuskan pergi menjauh dari sekolah.

“Coy kite kemana nih?” tanya Jono Stokonyu, teman saya yang terobsesi pada Andy Warhol tapi berdandan seperti Andy /rif. “Mabok aja boy mabok, warung Ki Manteb buka boy,” kata Ziko Rose yang bibirnya jontor seperti Axl Rose. Ki Manteb adalah warung yang menjual oplosan minuman keras dengan antimo ditambah sedikit autan, menghasilkan sensasi seperti terjatuh dari jembatan sirotolmustakim. “Ajib bener rasanya” kalo kata anak gaol.

Akhirnya saya pun mengeluarkan sebuah ide, “Puncak aja boy Puncak”. Entah kenapa satu mobil mengiyakan usul saya. “Bener lo men bener banget lo, dingin-dingin gini enaknya puncak, kaya permen pindimint,” kata Ziko mengiyakan ajakan saya. “Berangsut lah boy!” dan kami pun menggeber mobil dengan kecepatan cahaya dikali tinggi kali lebar dikali 22/7 yang menghasilkan kecepatan seperdelapan cahaya.

Di perjalanan menuju jalan tol kami dicegat seorang polisi. Wajahnya mirip Briptu Eka namun dalam wujud laki-laki. Ototnya kekar seperti Ade Juwita sehabis fitnes tujuh bulan. Ternyata dugaan kami salah, polisi itu hanya fiktif belaka karena kami mabuk, sebenarnya tak ada polisi, hanya patung polisi di pinggir jalan.

Kami pun kembali mengegas mobil, brem brem brem begitu bunyi knalpot mobil Jono Stokonyu. “Abis lulus gw mau kuliah di IKJ boy, kan gw anak indie,” kata Jono yang nafasnya bau angur merah yang selalu memabukkan diriku kuanggap belum seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan Meggy Z. “Gw mau nikah boy nikah, biar menghindari Zina,” kata Ziko sok religius plus ngawur.

Setelah tiga jam mengegas mobil dengan santai kami pun tiba di puncak. Kami kemudian mencari vila. Sebuah Vila bernama Vila berdarah tidak kami kunjungi karena ternyata yang punya lupa memakaikan softex ke dinding-dinding vilanya sehingga berdarah. Kami kemudian mengunjungi Vila Crepes, sayang kami salah berkunjung, ternyata itu tempat makan yang menyediakan Crepes, bodoh sekali kami. Tanpa pikir panjang kami mabuk lagi.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kami bingung dan masih mabuk. Tanpa tedeng aling-aling Ziko berteriak teriak sambil bernyanyi Stinky. “Mungkinkah kita kan selalu bersama walau terbentang jarak antara kita,” yang dia nyanyikan dengan musik ala The Killers. Kami pun menjadi bersemangat, Stinky adalah revolusi bagi kami. Maka kami tak lagi mabuk.

Saat itulah seorang gadis desa datang menyapa kami. “Halo namaku Susi, aku suka mengaji, tobat donk kalian.” Kami pun segera tobat. Dan setelah itu saya selalu suka mendengar kata Susi.





playlist: kagak ada.
kostum: kaos putih dan celana hawaii biru tua
cemilan: kagak ada.

No comments:

Post a Comment